Kamis, 19 April 2018

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 11

🌍 BimbinganIslam.com
Jum’at, 04 Sya’ban 1439 H / 20 April 2018 
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 011 | Hadits 11
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H011
〰〰〰〰〰〰〰



KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 11


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد


Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-11 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Halaqah kita kali ini membahas hadīts ke-11 yaitu hadīts dari Mu'āwiyyah radhiyallāhu ta'āla 'anhu, dia beliau mengatakan:

قال رسول االله صلى الله عليه و سلم: من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

"Barangsiapa yang Allāh kehendaki kebaikan pada dirinya maka Allāh akan jadikan ia fāqih (paham) tentang agamanya."

(Hadīts riwayat Bukhāri dan Muslim)

Syaikh Abdurrahmān As Sa'dī rahimahullāh mengatakan bahwa hadīts ini merupakan hadīts yang berisi tentang keutamaan ilmu yang paling utama.

√ Ilmu merupakan tanda kebahagian seorang hamba.

√ Ilmu merupakan sebab Allāh menginginkan kebaikan pada hamba tersebut.

Kemudian beliau (rahimahullāh) sebutkan bahwa yang dimaksud dengan: يفقهه في الدين di dalam hadīts ini mencakup paham dalam semua urusan agama. Baik itu merupakan perkara keimānan atau 'aqidah, juga termasuk hukum-hukum syari'at, juga termasuk hal-hal yang merupakan ihsān.

Termasuk dalam konteks hadīts ini: "Orang yang belajar atau mempelajari perkara-perkara 'aqidah".

'Aqidah yang benar yang harus diyakini sebagai seorang muslim. Dan dia mengenal 'aqidah yang bathil yang harus dia jauhi yang menyelisihi Al Kitāb dan Sunnah.

Serta tercakup juga makna dalam hadīts ini adalah orang yang mempelajari ilmu fiqih, baik itu ushul fiqh maupun ilmu fiqih itu sendiri yang merupakan hukum-hukum amalan.

Serta termasuk juga di dalam hadīts ini adalah orang yang belajar tentang akhlaq-akhlaq yang diperintahkan oleh syari'at Islām yang dianjurkan oleh Allāh dan dicintai oleh Allāh, yang itu merupakan wujud (realisasi) dari keimānan.

Juga termasuk dalam makna hadīts ini adalah belajar ilmu-ilmu yang merupakan wasilah untuk memahami agama. Seperti mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu alat yang lain yang di situ bisa menjadikan dia paham tentang ilmu-ilmu agama yang lain.

Maka barangsiapa Allāh kehendaki pada dirinya suatu kebaikan, maka Allāh akan jadikan dia paham tentang hal-hal tersebut.

Dan Allāh akan memberikan taufīq kepada dia di dalam mempelajari ilmu-ilmu tersebut.

Dan sebaliknya, barangsiapa dia berpaling dari mempelajari ilmu-ilmu ini, maka itu tandanya Allāh tidak menginginkan kebaikan kepada dirinya, karena dia tidak menempuh sebab yang di situ merupakan jalan kebaikan dan sebab kebahagiaan dia di dunia dan di akhirat.

Demikian yang bisa kita kaji dalam pembahasan hadīts kali ini, in syā Allāh kita akan lanjutkan lagi pada halaqah berikutnya.


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت نستغفرك وأتوب إليك 

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 10

🌍 BimbinganIslam.com
Kamis, 03 Sya’ban 1439 H / 19 April 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 010 | Hadits 10
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H010
〰〰〰〰〰〰〰

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 10


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد


Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-10 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Halaqah kita kali ini membahas hadīts ke-10 yaitu hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhumu, dimana beliau mengatakan.

 قال رسول الله رسول الله: من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه، لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا. ومن دعا إلى ضلالة كان عليه من الإثم مثل آثام من تبعه، لا ينقص ذلك من آثامهم شيئا - رواه مسلم.


Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa mengajak kepada hidayah, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka dia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang-orang tersebut.”

(Hadīts riwayat Muslim)

Syaikh Abdurrahmān As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan, bahwa hadīts ini dan juga hadīts-hadīts yang semisal berisi tentang anjuran untuk berdakwah kepada kebaikan dan menunjukkan keutamaan seorang da'i, (yaitu) orang yang mengajak kepada kebaikan.

Serta hadīts ini juga berisi ancaman. Ancaman agar tidak mengajak orang kepada kesesatan karena besarnya dosa orang yang mengajak kepada kesesatan.

Kemudian beliau (Syaikh Abdurrahmān As Sa'dī rahimahullāh) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hidayah adalah:

 العلم النافع، والعمل الصالح

"Ilmu yang bermanfaat dan juga amal yang shālih."

Sehingga termasuk dalam makna hadīts ini adalah:

"Barangsiapa mengajarkan ilmu atau dia mengarahkan orang untuk mempelajari ilmu atau mendapatkan ilmu maka dia termasuk kategori orang yang mengajak kepada hidayah."

Begitu pula orang yang dia mengajak kepada amal shālih, baik itu berkaitan dengan hak Allāh atau hak makhluk maka dia juga termasuk kategori orang yang mengajak kepada hidayah.

Dan juga orang yang memberikan nasehat tentang nasehat dalam urusan agama atau nasehat dalam urusan dunia yang kembalinya kepada urusan agama maka itu juga termasuk orang yang mengajak kepada hidayah.

Dan beliau juga sebutkan, begitu pula orang yang dia menjadi panutan, diikut,i orang lain dalam hal keilmuan dia dan dalam hal amal shālih yang dia miliki, maka dia juga termasuk kategori orang yang mengajak kepada hidayah. Karena orang lain mengikuti perbuatannya, seolah-olah dia mencontohkan dengan perbuatannya sendiri.

Dan juga setiap orang yang memfasilitasi orang lain dengan amal kebaikan atau suatu media yang bermanfaat secara umum maka ini juga termasuk kategori orang yang mengajak kepada hidayah yang disebutkan di dalam kontek hadīts tersebut.

Begitu pula sebaliknya, setiap orang yang mengajak kesesatan berarti dia adalah da'i yang mengajak kepada kesesatan atau orang yang memfasilitasi terhadap perkara-perkara yang di situ menjerumuskan ke dalam kemungkaran atau kesesatan maka dia termasuk orang yang dikatakan sebagai penyeru kepada kesesatan.

Kemudian beliau sebutkan juga disini bahwa orang-orang yang mengajak kepada hidayah mereka itu adalah imāmnya orang-orang yang bertaqwa dan mereka adalah orang-orang mukmin pilihan.

Adapun orang yang mengajak kepada kesesatan maka mereka adalah imām-imām yang akan menjerumuskan ke dalam neraka.

Barangsiapa menolong orang lain di dalam Al Birru wa Taqwa (kebaikan dan ketaqwaan) berarti dia adalah penyeru kepada hidayah.

Dan barangsiapa dia menolong orang lain untuk melakukan dosa atau kemaksiatan maka berarti dia adalah penyeru kepada kesesatan.

Demikian yang beliau sampaikan dalam penjelasan hadīts ini, in syā Allāh kita akan lanjutkan lagi pada halaqah berikutnya.


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت نستغفرك وأتوب إليك 

Senin, 16 April 2018

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 8

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 01 Sya'ban 1439 H / 17 April 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 008| Hadits 08
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H008
〰〰〰〰〰〰〰





KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 8


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد


Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-8 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Halaqah kita kali ini membahas hadīts ke-8 yaitu hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu, dia mengatakan:

قال رسول الله:  يأتي الشيطان أحدكم فيقول: من خلق كذا ؟ من خلق كذا ؟ حتى يقول: من خلق االله ؟ فإذا بلغه فليستعذ باالله، ولينته

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

"Syaithān datang kepada salah seorang di antara kalian kemudian dia mengatakan:

Siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu?

Sampai-sampai nanti akan ada ucapan:

Siapa yang menciptakan Allāh?

Maka apabila dia sampai pada pemikiran demikian, hendaknya dia berlindung kepada Allāh dari syaithān dan hendaknya dia berhenti memikirkan hal tersebut."

Dalam riwayat yang lain:

فليقل: آمنت باالله ورسله

Hendaknya dia mengatakan:

"Aku berimān kepada Allāh dan kepada para rasūl-Nya."

(Hadīts riwayat Bukhāri dan Muslim)

Dalam satu riwayat yang lain, Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لا يزال الناس يتساءلون حتى يقولوا: من خلق االله ؟

"Manusia senantiasa bertanya-tanya hingga akhirnya dia sampai pada tahapan pertanyaan: Siapa yang menciptakan Allāh?"

Syaikh Abdurrahmān As Sa'dī menjelaskan tentang hadīts ini, bahwa hadīts ini memberikan kepada kita faedah bahwasanya syaithān akan senantiasa melemparkan syubhat ke dalam diri manusia.

Ada kalanya dengan cara bisikan-bisikan syaithān atau ada kalanya melalui ucapan-ucapan yang didengar melalui lidah-lidah para syaithān dari kalangan manusia dan orang-orang malāhidah (orang-orang yang mengingkari agama).

Yang demikian itu adalah sesuatu yang terjadi, baik itu melalui bisikan syaithān atau melalui ucapan-ucapan yang terlontar dari orang-orang yang mereka memusuhi agama (yaitu) para syaithān-syaithān dari kalangan manusia.

Karena syaithān akan senantiasa berusaha untuk memasukan syubhat ini ke dalam diri manusia sehingga akhirkan dia bertanya-tanya akan sesuatu yang berujung kepada pertanyaan dia tentang, "Siapa yang menciptakan Allāh Subhānahu wa Ta'āla."

Maka di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan solusi, apabila hal tersebut dirasakan oleh seseorang.

Solusi yang diberikan adalah melalui 3 (tiga)  hal, yaitu:

⑴ Dia berhenti untuk memikirkan hal tersebut.

Mengapa demikian?

Beliau (rahimahullāh) sebutkan disini, karena akal manusia itu terbatas, ada batasan dimana dia bisa sampai ke situ dan tidak bisa berpikir lagi sesuatu yang di belakang hal tersebut.

Sehingga akalnya tidak mungkin sampai untuk berpikir kesana (terbatas), oleh karena itu dia tidak akan mungkin bisa mengetahui dan dia tidak boleh bertanya tentang sesuatu yang di luar batas akalnya.

فإن المخلوقات لها ابتداء ولها انتهاء

"Karena makhluk itu memiliki awal mula dan memiliki masa akhir."

Kemudian solusi berikutnya yang beliau sebutkan yang disampaikan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah:

⑵ Berlindung kepada Allāh dari bisikan syaithān tersebut.

Karena itu merupakan solusi yang paling ampuh untuk mengusir bisikan syaithān dan menolak bisikan-bisikan yang senantiasa dibisikan atau dimasukan kedalam hati manusia.

Cara berikutnya, adalah:

⑶ Dengan dia nyatakan keimānan.

Beliau ucapkan:

 آمنت باالله ورسله

"Aku berimān kepada Allāh dan rasūl-Nya."

Dia imani kabar-kabar yang Allāh kabarkan dan juga yang di informasikan oleh rasūl-rasūl tentang perkara-perkara yang ghāib.

Dan para rasūl telah mengabarkan bahwasanya Allāh adalah Al Awwal  (الأول), Yang Paling Pertama.

الذي ليس قبله شيء, وأنه تعالى المتفرد بالوحدانية،

"Yang tidak ada sesuatu pun sebelumnya dan Allāh Maha Esa."

Sehingga tidak ada yang menciptakan Allāh, tidak ada sesuatupun yang ada sebelum Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Tiga hal ini merupakan solusi yang diajarkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam apabila seseorang merasakan di dalam dirinya keraguan karena bisikan syaithān sehingga sampai pada tahapan dia ragu tentang kebenaran Allāh dan rasūl-Nya.

Bahkan bisa jadi dia ragu tentang ke-Esa-an Allāh di dalam perkara yang merupakan hak-hak Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Demikian yang bisa kita kaji pada halaqah kita kali ini, in syā Allāh kita lanjutkan lagi pada halaqah berikutnya.


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت نستغفرك وأتوب إليك 

Minggu, 15 April 2018




Senin, 30 Rajab 1439 H / 16 April 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 007| Hadits 07
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H007
〰〰〰〰〰〰〰

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 7


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد
وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد


Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-7 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Pada halaqah ini kita akan membahas hadīts ke-7 yaitu hadīts dari 'Abdullāh bin 'Amr radhiyallāhu  Ta'āla 'anhumā, dia mengatakan:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم:  أربع من كن فيه كان منافقا خالصا، ومن كانت فيه خصلة منهن كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها: إذا اؤتمن خان، وإذا حدث كذب، وإذا عاهد غدر، وإذا خاصم فجر

Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

"Ada 4 (empat) hal yang apabila ada pada diri seseorang maka dia termasuk orang munāfiq yang murni. Dan barangsiapa ada pada dirinya salah satu dari 4 (empat) hal ini maka berarti ada pada dirinya salah satu karakter kemunāfiqkan, sampai dia meninggalkan hal tersebut.

Yaitu:

⑴ Apabila dia diberikan amanah maka dia berkhianat (إذا اؤتمن خان)
⑵ Apabila dia mengabarkan sesuatu (ketika berbicara) dia berdusta (إذا حدث كذب)
⑶ Apabila dia membuat sebuah perjanjian maka dia mengingkarinya (إذا عاهد غدر)
⑷ Apabila dia bermusuhan, maka dia akan berbuat fajir (إذا خاصم فجر)

(Muttafaqun 'alaiyh, Hadīts riwayat Bukhāri dan Muslim)

Syaikh Abdurrahmān As Sa'dī rahimahullāh mengatakan:

النفاق أساس الشر. وهو أن يظهر الخير، ويبطن الشر.

"Kemunāfiqkan adalah asas dari kejelekan. Yang dimaksud dengan kemunāfiqkan adalah seorang dia menampakkan kebaikan dan dia menyembunyikan kejelekan (kejahatan).”

Maka beliau membagi kemunāfiqkan disini menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

⑴ Nifāq akbar 'itiqādiy (النفاق الأكبر الاعتقادي)

Kemunāfiqkan besar yang berkaitan dengan keyakinan (yaitu) seorang yang dia menampakkan keislāman akan tetapi dalam hatinya dia menyembunyikan kekufuran.

Nifāq yang seperti ini mengeluarkan pelakunya dari Islām dan menjadikan dia kekal didalam neraka yang paling bawah.

Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla  telah mensifatkan orang munāfiq yang seperti ini dengan sifat-sifat yang jelek.

Diantaranya adalah :

√ Mereka kufur,
√ Mereka tidak berimān,
√ Mereka meremehkan agama (mempermainkan agama), 
√ Mereka memperolok-olok orang yang dia menjalankan agama Islām,
√ Mereka lebih cenderung membela kepada musuh-musuh Islām. Karena mereka sama dalam membenci agama Islām.

Beliau (Syaikh Abdurrahmān As Sa'dī rahimahullāh) katakan disini, orang munāfiq seperti ini ada pada setiap zaman, terlebih di zaman kita sekarang ini yang dimana di sini lebih dominan kecintaan terhadap: المادية (perkara materi) , الإلحاد (penyimpangan dalam agama) serta والإباحية (kebebasan), orang menginginkan semua hal tersebut.

⑵ Nifāq 'Amaliy (النفاق العملي)

Nifāq 'Amaliy adalah amalan-amalan yang itu merupakan karakter dari seorang munāfiq.

Nifāq yang kedua ini beliau katakan tidak mengeluarkan pelakunya dari Islām akan tetapi kemunāfiqkan jenis ini merupakan koridor untuk masuk kepada kekufuran.

Maka barangsiapa terkumpul di dalam dirinya 4 (empat) hal yang disebutkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts tersebut maka berarti telah terkumpul pada dirinya berbagai kejahatan yang itu merupakan sifat-sifat orang munāfiq secara murni.

Karena sifat orang munāfiq itu bertentangan dengan sifatnya orang mukmin, dimana sifat seorang mukmin, adalah:

⑴ Jujur (الصدق)
⑵ Mereka menunaikan amanah (القيام بالأمانات)
⑶ Mereka memenuhi janji (الوفاء بالعهود)
⑷ Bersifat wara' dari mengambil hak orang lain ( الورع عن حقوق الخلق)

Adapun sifat orang munāfiq maka kebalikan dari hal-hal tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts tadi.

Maka beliau (Syaikh Abdurrahmān As Sa'dī) sebutkan disini, menjelaskan 4 (empat) sifat tersebut.

⒈ Apabila dia berbicara dia berdusta.

Berdusta disini baik berbicara tentang Allāh atau tentang rasūl atau tentang perkara-perkara yang lain, maka kebiasaan dia adalah berdusta.

Maka orang yang memiliki sifat ini, berarti dia telah memiliki karakter sifat orang munāfiq, sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam telah mengancam hal tersebut.

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

"Berhati-hatilah kalian terhadap kedustaan, karena kedustaan akan membawa kepada kefajiran dan perbuatan fajir akan menyeret seseorang kedalam neraka. Dan tidaklah seorang itu senantiasa berdusta dan berusaha terus berdusta melainkan akan Allāh tulis disisinya sebagai seorang pendusta."

(Hadīts riwayat Bukhāri dan Muslim)

2. Dia berkhianat.

Barangsiapa dia diserahkan amanah yang berupa harta orang lain atau hak-hak orang lain atau diamanahi untuk menyimpan rahasia, kemudian dia berkhianat terhadap amanah tersebut, maka berarti dia telah memiliki karakter yang lain dari karakternya orang munāfiq.

⒊ Dia tidak memiliki kewara'an dari mengambil harta orang lain dan mengambil hak mereka sehingga apabila dia bermusuhan dengan orang, maka dia akan berbuat fajir (berbuat kezhāliman), tidak peduli mengambil harta orang lain atau menyakiti orang lain. (Ini juga karakter orang munāfiq). 

4. Apabila dia berjanji maka dia akan mudah untuk mengingkarinya.

4 (empat) hal ini, apabila ada pada diri seseorang, maka hampir-hampir pada dirinya itu tidak ada keimānan yang cukup untuk menyelamatkan dia.

Karena 4 (empat) hal tersebut, bertentangan dengan sifatnya seorang mukmin.

Kemudian beliau sebutkan di sini:

Perlu diketahui juga bahwasanya, di antara prinsip ahlus sunnah wal jamā'ah adalah bahwa seorang yang terkumpul didalam dirinya perilaku keburukan dan perilaku kebaikan maka selama perilaku keburukan tersebut tidak sampai mengeluarkan dia dari keimānan, maka dia tetap berhak untuk mendapatkan ganjaran kebaikan sesuai dengan amalan kebaikan yang dia lakukan dan dia juga terancam dengan ganjaran keburukan sesuai dengan keburukan yang dia lakukan.

Tidak serta merta dia langsung dinyatakan keluar dari Islām sebagaimana itu merupakan keyakinan orang-orang khawarij.

Demikian yang bisa kita kaji pada halaqah kita kali ini, in syā Allāh kita lanjutkan lagi pada halaqah berikutnya.


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت نستغفرك وأتوب إليك 

Kamis, 05 April 2018

PUASA YANG DIHARAMKAN (BAGIAN 1)


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Para sahabat Bimbingan Islām dan kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla 

Kita lanjutkan pelajaran kita dalam kitāb Ash Shiyām (Kitāb Puasa) dan kita sampai pada puasa yang diharamkan. 

Berkata penulis rahimahullāh: 

((ويحرم صيام خمسة أيام: العيدان وأيام التشريق الثلاثة))

Dan diharamkan puasa pada 5 (lima) hari, yaitu:

⑴ Dua hari 'Ied (العيدان)

(yaitu 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha.)

⑵ Tiga hari pada hari Tasyrīq ( التشريق الثلاثة)

Hari tasyrīq adalah hari pada tanggal 11,12 dan 13 Dzuhijjah. 

Kemudian:

((ويكره صوم يوم الشك إلا أن يوافق عادة له))

"Dan dimakruhkan berpuasa pada hari syak, kecuali dia bersamaan atau bertepatan dengan puasa yang biasa dia kerjakan."

Hari syak adalah hari yang ragu, artinya apakah dia masuk ke dalam bulan Ramadhān atau masih di bulan Sya'bān, itu yang disebut sebagai hari syak. 

Para sahabat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Bahwasanya diharamkan puasa pada 5 (lima)  
hari. 

⑴ 'Iedul Fithr
⑵ 'Iedul Adha

Hal ini berdasarkan hadīts yang diriwayatkan oleh Imām Muslim dari Abū Said AlKhudri radhiyallāhu Ta'āla 'anhu. 

Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam)  bersabda: 

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ 

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang puasa dari dua hari ('Iedul Adha dan ‘iedul fithr)."

(Hadīts riwayat Muslim nomor 827)

Perkara ini merupakan kesepakatan para ulamā (ijmā' ulamā) bahwa puasa pada dua hari tersebut hukumnya adalah haram. 

Apakah puasa sunnah atau puasa wajib seperti puasa nadzar atau puasa kafarah, maka tidak boleh dilakukan pada hari tersebut. 

Di dalam hadīts yang lain, yang disebutkan oleh Abū 'Ubaid Maulā Ibnu Azhar beliau berkata: 

شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ـ رضى الله عنه ـ فَقَالَ هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِصلى الله عليه وسلم عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ، وَالْيَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ. 

Saya menyaksikan (melaksanakan shalāt) 'Ied bersama 'Umar bin Khaththāb maka beliau pun berkata:

"Bahwasanya ini adalah dua hari yang dilarang oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam  untuk berpuasa pada hari tersebut, (yaitu) pada hari fithr setelah kita berpuasa Ramadhān dan hari yang lain adalah pada saat kalian makan, makanan sembelihan kalian yaitu pada saat 'Iedul Adha."

(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 1990)

Begitu juga hadīts dari Abū Said Al Khudriy yang tadi disebutkan. 

Kemudian hari berikutnya adalah tiga hari pada saat hari-hari tasyrīk, yaitu: 

⑶ 11 Dzulhijjah 
⑷ 12 Dzulhijjah 
⑸ 13 Dzulhijjah 

Dan tidak boleh seorang berpuasa sunnah. Ini merupakan jumhur mayoritas para ulamā berdasarkan hadīts dari Nubaysyah Al Hudzaliy beliau berkata, Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

"Hari tasyrīk adalah hari makan dan minum."

(Hadīts riwayat Imām Muslim nomor 1141) 

Oleh karena itu puasa pada hari tasyrīk hukumnya adalah haram kecuali bagi jamā'ah haji yang dia tidak mendapatkan hadyu (hewan untuk disembelih) apakah karena tidak ada atau karena tidak punya. 

فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ 

"Apabila kalian tidak mendapatkan hadyu (binatang sembelihan) apakah dia tidak mampu maka dia boleh menggantikannya dengan berpuasa tiga hari pada saat pelaksanaan haji dan tujuh hari pada saat pulang."

(QS AlBaqarah 196)

Dan para ulamā telah membahas ini dan diperbolehkan apabila memang harus berpuasa pada hari tasyrīk bagi jamā'ah tersebut. 

Adapun selain mereka maka tidak diperbolehkan untuk berpuasa pada hari tersebut (hari tasyrīk). 

Dan juga berdasarkan hadīts yang diriwayatkan oleh Imām Muslim, dari Ka'ab bin Mālik radhiyallāhu ta'āla 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَعَثَهُ وَأَوْسَ بْنَ الْحَدَثَانِ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ فَنَادَى  " أَنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ مُؤْمِنٌ . وَأَيَّامُ مِنًى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ " 

Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengutus beliau dan juga mengutus Ausa bin Al Hadatsān pada hari tasyrīk. Maka keduanyapun menyeru (mengumumkan) bahwa perintah dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: 

“Bahwasanya tidak ada yang masuk surga kecuali orang berimān dan hari-hari Minā adalah hari makan dan minum.”

(Hadīts riwayat Muslim nomor 1142)

⇒ Ini adalah perintah dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam untuk menjadikan hari tasyrīk sebagai hari makan dan minum. 

Mudah-mudahan bisa dipahami, semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberkahi umur-umur kita dengan menuntut ilmu agama dan in syā Allāh kita akan bertemu pada halaqah berikut. 


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

= = =


PUASA YANG DIHARAMKAN (BAGIAN 2)


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para sahabat Bimbingan Islām dan kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita lanjutkan pelajaran kita dalam kitāb Asy Shiyām (kitāb puasa) dan kita sampai pada puasa yang diharamkan. 

Berkata penulis rahimahullāh: 

((ويكره صوم يوم الشك))

"Dan dimakruhkan puasa pada hari syak."

Jadi apabila seseorang ragu-ragu maka dia kemudian jaga-jaga jangan sampai masuk bulan Ramadhān dan dia tidak berpuasa maka dia berpuasa pada akhir bulan Sya'ban (tanggal 30 Sya'ban) ini disebut hari syak (hari yang ragu-ragu). 

Apakah dia masuk bulan Ramadhān atau tidak, karena bulan di dalam bulan qamariyyah apakah dia 29 atau 30 hari. 

Jadi tanggal 30 ini mungkin bisa masuk tanggal 1 Ramadhān apabila sudah terlihat hilal, maka seorang yang ragu-ragu dia berpuasa pada tanggal tersebut ini disebut hari syak. Maka kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ini tidak diperbolehkan. 

Kalimat: ويكره , yang disebutkan makruh di sini oleh penulis, yang dimaksudkan mungkin adalah makruh tahrim, karohiyatu tahrim, artinya tidak disukai tapi masuk dalam hukum haram, karena yang mu'tamat (yang dikenal) di dalam madzhab syāfi'i hukumnya adalah haram. 

Hal ini berdasarkan hadīts yang diriwayatkan oleh Amar bin Yāssir radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم

"Barangsiapa yang berpuasa pada hari dimana orang-orang ragu apakah dia masuk pada bulan Ramadhān atau tidak, maka dia telah bermaksiat kepada Abū Qāsim (Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam)."

(Hadīts riwayat Bukhāri 4/119, Abū Dāwūd 2334, An Nassā'i 4/153, At Tirmidzī 686, Ibnu Mājah 1645)

⇒ lni menunjukkan bahwasanya larangan dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang berpuasa pada hari syak. 

(( إلا أن يوافق عادة له))

"Kecuali bila bertepatan dengan puasa yang sering dia kerjakan."

Misalnya: 

Dia sering puasa Senin Kamis dan tanggal 30 Sya'ban bertepatan dengan hari Kamis, maka diperbolehkan puasa pada hari Kamis tersebut. 

Kalau dia tidak pernah berpuasa pada Senin Kamis, kemudian dia berpuasa pada hari Kamis tersebut maka ini tidak diperbolehkan. 

Para shahābat sekalian. 

Di sana ada beberapa puasa yang juga dilarang, yaitu: 

• Puasa di hari Jum'at 

Puasa di hari Jum'at secara sendiri tidak dibarengi dengan puasa sebelumnya atau sesudahnya, maka puasa ini tidak diperbolehkan. 

Sebagaimana hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu, beliau berkata bahwasanya Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

لاَ يَصُمْ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ أَنْ يَصُومَ قَبْلَهُ أَوْ يَصُومَ بَعْدَهُ

"Tidak boleh seseorang dari kalian berpuasa hari Jum'at saja kecuali dia berpuasa hari sebelumnya atau hari sesudahnya."

(Hadīts riwayat Bukhāri 1985, Muslim 1144)

⇒ Jadi harus digandeng dengan puasa hari sebelumnya atau hari sesudahnya. 

Kemudian puasa yang lain, yaitu: 

• Puasa Dahr (puasa terus menerus) 

Puasa Dahr (puasa terus menerus), tidak pernah putus, setiap hari dia berpuasa, maka ini juga tidak diperbolehkan. 

Dari Abdullāh bin Āmr bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, tatkala sampai kepada beliau bahwa Abdullāh bin Āmr itu berpuasa terus menerus maka beliau mengatakan kepada Abdullāh bin Āmr. 

Beliau bersabda: 

لَا صَامَ مَنْ صَامَ الْأَبَدَ, لَا صَامَ مَنْ صَامَ الْأَبَدَ, لَا صَامَ مَنْ صَامَ الْأَبَدَ

"Tidak ada puasa (tidak dapat pahalanya) bagi orang yang berpuasa terus menerus. Tidak ada puasa (tidak dapat pahalanya) bagi orang yang berpuasa terus menerus. Tidak ada puasa (tidak dapat pahalanya) bagi orang yang berpuasa terus menerus."

(Hadīts shahīh riwayat Bukhāri 1977, Muslim 1159)

⇒ Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam mengulang sebanyak 3 (tiga) kali. 

• Puasa di hari Sabtu

Di sana ada khilāf para ulamā tentang puasa khusus pada hari sabtu saja. Boleh atau tidak? 

Maka di sana:

√ Sebagian membolehkan, seperti madzhab Mālik.
√ Sebagian mengatakan makruh menyendirikan puasa di hari sabtu saja, ini adalah madzhab jumhur (Syāfi'i, Hanafiyyah dan Hanabilah). 

• Puasa Wishāl

Dan di sana ada larangan yaitu untuk puasa wishāl, yaitu seseorang yang tidak sahur dan tidak berbuka menyambung terus puasanya, maka ini juga tidak diperbolehkan berdasarkan hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

إيكم و اَلْوِصَالِ, إيكم و اَلْوِصَالِ, إيكم و اَلْوِصَالِ

"Hati-hati kalian, jangan berpuasa wishāl. Hati-hati kalian, jangan berpuasa wishāl, Hati-hati kalian, jangan berpuasa wishāl."

Maka sunnahnya sebagaimana sudah disebutkan bahwa seorang muslim /mukmin tatkala berpuasa mengikuti sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yaitu makan sahūr dan kemudian mempercepat berbuka puasa. 

Mudah-mudahan bisa dipahami, semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberkahi umur-umur kita dengan menuntut ilmu agama dan in syā Allāh kita akan bertemu pada halaqah berikutnya. 


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Senin, 02 April 2018






PERKARA-PERKARA YANG DISUNAHKAN DALAM PUASA


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Para sahabat Bimbingan Islām dan kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla 

Alhamdulilāh, kita lanjutkan pelajaran kita tentang masalah-masalah yang ada di dalam puasa, kita sampai pada pembahasan perkara-perkara yang mustahab (disunnahkan) di dalam puasa. 

Berkata penulis rahimahullāh : 

((ويستحب في الصوم ثلاثة أشياء: تعجيل الفطر وتأخير السحور وترك الهجر من الكلام))

Dan disunnahkan di dalam puasa 3 (tiga)  perkara:

⑴ Mempercepat berbuka puasa (تعجيل الفطر)
⑵ Melambatkan sahūr (وتأخير السحور )
⑶ Meninggalkan ucapan-ucapan buruk di dalam ucapannya (ترك الهجر من الكلام)

Tiga perkara ini yang disebutkan mualif dan di sana masih banyak beberapa sunnah-sunnah yang lain, yang mungkin nanti akan kita sebutkan. 

• Yang pertama | Mempercepat berbuka puasa (تعجيل الفطر) 

Apabila sudah tenggelam matahari atau sudah masuk waktu maghrib maka hendaknya seorang yang berpuasa segera berbuka. Dan jangan menunda-nunda sampai matahari kemerahan atau sampai datang malam (sampai 'isya) karena ini adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang selain muslim. 

Menyelisihi orang-orang kufar yang mereka berpuasa sampai malam hari dan ini adalah tindakan orang Yahūdi. 

Jadi, di antara sunnah adalah mempercepat berbuka puasa (تعجيل الفطر). 

Oleh karenanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts Sahl bin Sa'ad, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

لاَيَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

"Bahwasanya manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka.”

(Hadīts riwayat Bukhāri 4/173 dan Muslim 1093)

⇒ Intinya bahwa mempercepat berbuka adalah termasuk sunnah dan di sana ada kebaikan karena menyelisihi orang-orang Yahūdi. 

• Yang kedua | Melambatkan sahūr (وتأخير السحور )

Maksudnya memperlambat sahūr adalah dia makan sahūr pada waktu-waktu mendekati waktu fajar, artinya bukan orang makan habis 'isyā kemudian dia tidak makan lagi. 

Tetapi tatkala menjelang fajar maka dianjurkan orang makan sahur pada waktu tersebut. 

Hal ini berdasarkan sebuah hadīts dari Zaid bin Tsābit radhiyallāhu ta'āla 'anhu, beliau berkata: 

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ، قُلْتُ : كَمْ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ ؟ قَالَ : قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةٍ

Kami ini makan sahūr bersama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, kemudian beliau berdiri untuk shalāt (maksudnya shalāt fajar) maka saya katakan:

“Berapa jarak antara adzan dan shaur?” 

Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjawab:

"Kira-kira bacaan sekitar 50 ayat?"

Yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, beliau makan sahūr menjelang fajar. 

• Yang ketiga | Meninggalkan ucapan-ucapan buruk di dalam ucapannya (ترك الهجر من الكلام) 

Meninggalkan ucapan-ucapan buruk pada saat seseorang berpuasa, sebagaimana sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam: 

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang buruk dan juga perbuatan yang buruk maka Allāh tidak butuh kepada puasanya."

(Hadīts riwayat Bukhāri, Abū Dāwūd dan Tirmidzī) 

• Yang keempat | Termasuk sunnah adalah makan sahūr itu sendiri. 

⇒ Jadi seorang yang ingin berpuasa disunnahkan untuk makan sahūr. 

Hadīts Annas bin Mālik radhiyallāhu ta'āla 'anhu berkata, Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ

"Bersahūrlah kalian, karena sesungguhnya di dalam makan sahur itu ada keberkahan."

Kemudian hadīts yang lain, hadīts 'Umar bin Āsh radhiyallāhu ta'āla 'anhu beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ اْلكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

"Pembeda antara puasa kita dengan puasa ahlul kitāb yaitu Yahūdi dan Nashārā."

(Hadīts riwayat Imām Muslim dan Abū Dāwūd) 

⇒ Ahlul kitāb tidak makan sahūr sehingga untuk menyelisihi mereka, kita umat muslim makan sahūr. 

Dalam hadīts yang lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan: 

تسحروا ولو بجرعة ماء

"Sahūrlah kalian walau hanya dengan seteguk air."

(Hadīts hasan riwayat Ibnu Hibbān) 

⇒ Ini menekankan pentingnya sahūr (السحور) 

Demikian yang bisa disampaikan pada materi kali ini, semoga bermanfaat. 


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Kamis, 04 Januari 2018

ZAKĀT PERDAGANGAN (عروض التجارة), BAGIAN 1 DARI 2


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Para shahābat Bimbingan Islām yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita masuk pada halaqah yang ke-86, kita masuk pada pembahasan tentang: عروض التجارة , zakāt pada barang-barang perdagangan atau barang-barang yang didagangkan.

Jumhur ulamā menyatakan bahwasanya hukum zakāt: عروض التجارة adalah wajib, hal ini berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah sedekah (zakāt ) dari harta mereka untuk membersihkan dan menyucikan mereka dengan sedekah itu.”

(QS At Tawbah: 103)

⇒ Di sini para ulamā mengatakan: أَمْوَالِ secara umum dan masuk di dalamnya adalah: عروض التجارة.

Begitu juga dalīl yang lain:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَاكَسَبْتُمْ وَمِمَّآأَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ اْلأَرْضِ

"Wahai orang-orang yang berimān, nafkahkanlah (di jalan Allāh ) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian."

(QS Al Baqarah: 267)

Berkata Abū Bakar bin Ibnu Al Arabiy: berkata para ulamā, firman Allāh Ta'āla:

عن أبو بكر بن ابن الأربي قال الألماء كمقوله تعالى ما كسبتم ومما أخرنا لكم في الأرض

"Apa yang kalian peroleh (yakni) at tijārah dan apa yang kami keluarkan dari muka bumi maksudnya tumbuh-tumbuhan."

⇒ Ini menunjukkan bahwasanya wajibnya: عروض التجارة , zakāt barang-barang perdagangan.

Ada beberapa syarat untuk barang- barang perdagangan, di antaranya yang disebutkan oleh para ulamā:

⑴ Bahwasanya orang tersebut memiliki barang tersebut dengan wasilah apapun yang shahīh (diperbolehkan oleh syari'at).

Apakah dia memiliki dengan jual beli atau dengan hibah (diterima) atau dia mendapatkan hadiah, lalu dijualkan. Atau dari warisan atau lain sebagainya ini yang jelas dia memiliki barang tersebut.

⑵ Bahwasanya dia meniatkan dengan barang tersebut untuk melakukan jual beli. 

Maka apabila dia membeli sesuatu dalam rangka untuk digunakan secara pribadi atau digunakan secara khusus maka tidak termasuk kepada: عروض التجارة

⑶ Barang-barang tersebut adalah: يبلغ النّصاب , nishāb atau mencapai batas minimal yang wajib dizakāti.

⑷ Dia telah mencapai haul (batas waktu) yang ditentukan oleh syari'at (yaitu) selama satu tahun.

Berkata penulis rahimahullāh: 

وتقوم عروض التجارة عند آخر الحول بما اشتريت به ويخرج من ذلك ربع العشر

"Hendaklah barang-barang dagangan itu ditaksir (dihitung) nilainya pada akhir haul dengan harga berapa barang-barang itu telah dibeli."

Maksudnya barang-barang tersebut ditaksir dengan harga belinya pada saat itu atau harga pasar yang berlaku pada saat itu, bukan pada saat awal membeli.

Misalnya:

Seseorang berjual beli satu barang (mobil, misalnya) tatkala dia membeli mobil itu harganya misalnya 100 Juta, di akhir tahun pasaran harga mobil tersebut turun menjadi 80 Juta.

Maka taksiran dinilai di dalam zakāt adalah taksiran yang terakhir yaitu harga mobil 80 Juta.

Begitu pula sebaliknya, apabila dia membeli barang (misalnya) di awal membeli harganya adalah 100 Ribu per unit, kemudian di akhir tahun tatkala ada kebutuhan, barang tersebut  harganya naik menjadi 1 Juta per unit (misalnya), maka nilai yang ditaksir adalah nilai 1 Juta per unit X jumlah unit.

Apabila mencapai nishāb, maka dizakāti sesuai dengan nilai yang ditakar di akhir haul.

Di sana ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

⑴ Apabila seseorang (misalnya) membeli mobil atau membeli tanah untuk digunakan, khusus (misalnya) mobilnya dipakai untuk keperluan pribadi atau keluarganya dan tanahnya digunakan untuk membangun rumah untuk keluarganya dan tidak diniatkan untuk diperjual belikan.

⇒ Maka tidak ada zakāt untuk mobil atau tanah tersebut (tidak dikenakan zakāt), karena tidak diniatkan untuk dijual belikan.

⑵ Pada masalah yang disebutkan tadi, seandainya seseorang membeli mobil atau membeli tanah, untuk digunakan secara pribadi kemudian setelah membeli tiba-tiba dia berubah niatnya, dia ingin mobil atau tanah tersebut diperjual-belikan, maka pada saat berubah niatnya, barang tersebut menjadi barang perdagangan,  عروض التجارة.

Dan dimulai pada saat dia memulai niatnya tersebut dihitung selama satu tahun apabila telah mencapai nishāb dan mencapai haul maka pada saat itu wajib dizakāti.

Demikian yang bisa disampaikan pada halaqah ini dan kita akan lanjutkan pada pertemuan berikutnya.


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
ZAKĀT PERTANIAN (الزروع والثمار)


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Para shahābat Bimbingan Islām yang berbahagia, di manapun anda berada dan semoga Allāh merahmati kita semua.

Pada halaqah yang ke-85 ini kita masih membahas hal yang terkait dengan zakāt dan kita masuk pembahasan tentang zakāt: الزروع والثمار yaitu zakāt pertanian, zakāt buah-buahan dan biji-bijian.

Di sini, seseorang wajib menunaikan zakat pertanian apabila dia memilikinya, berdasarkan dalīl dari Al Qur'ān maupun hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Di antaranya firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

⑴ Dalam surat Al An'ām ayat 141:

وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ

"Dan tunaikanlah haknya (zakāt) pada hari memetik hasilnya (pada saat panennya)."

⑵ Dalam surat Al Baqarah ayat 267:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

"Wahai orang-orang yang berimān, berinfāqlah kalian (yaitu) tunaikanlah zakāt kalian dari sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu."

⇒ Az zuru' wa tsimār (الزروع والثمار) termasuk dari perkara-perkara yang masuk di dalam: مِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ.

Lebih spesifik, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan:

فِيمَا سَقَتْ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ

"Pada tanaman yang diairi dengan air hujan, mata air, atau air tanah maka zakatnya sepersepuluh, adapun yang diairi dengan menggunakan tenaga maka zakatnya seperduapuluh."

(Hadits riwayat Bukhari nomor 1388, versi Fathul Bari nomor 1483)

⇒ Tanaman atau tumbuhan yang diairi oleh air hujan (air langit) maka zakātnya adalah sepersepuluh atau 10 % dan tanaman yang disirami dengan ember-ember atau dengan usaha manusia maka zakātnya adalah 5%.

⇒ Ini menunjukkan wajibnya seseorang menunaikan zakāt, yang terkait dengan: الزروع والثمار.

Kemudian berkata penulis rahimahullāh:

((ونصاب الزروع والثمار خمسة أوسق))

"Dan nishāb dari الزروع والثمار pertanian, buah-buahan dan biji-bijian adalah: خمسة أوسق (lima wasaq)."

⇒ Wasaq adalah ukuran volume yang mana volume ini standarnya kepada shā Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

√ Satu wasaq adalah kira-kira 60 shā.
√ Satu shā yang digunakan pada zaman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam kira-kira 3.28 liter.

Jadi ukurannya adalah volume bukan ukuran timbangan, karena secara timbangan walaupun volumenya sama, apabila berbeda buahnya atau berbeda jenisnya (misalnya) antara beras dan tepung pasti berbeda beratnya.

Maka yang digunakan standar di dalam zakāt nishābnya adalah 5 (lima) wasaq atau sekitar 300 shā atau sekitar kurang lebih 984 liter hampir 1000 liter.

Apabila kurang dari itu tidak wajib untuk dizakāti berdasarkan hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

ولَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُق من تمر ولا حب صدقة

"Tamr (kurma) maupun biji-bijian (kismis dan lain sebagainya) apabila kurang dari 5 (lima) wasaq maka tidak ada sedekahnya (zakātnya)."

(Hadīts riwayat Ibnu Hibbān dalam Shahīhnya)

وما زدا فبحسبه

"Apabila lebih dari 5 (lima) wasaq maka akan mengikuti perhitungan dari zakāt tersebut."

Berkata penulis rahimahullāh:

((وفيها إن سقيت بماء السماء أو السيح العشر وإن سقيت بدولاب أو نضح نصف العشر))

"Zakāt bagi tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang masuk pada pertanian maupun: الثمار (buah-buahan dan biji-bijian), apabila diairi oleh air langit ataupun air hujan ataupun aliran air sungai (misalnya) maka zakātnya sepersepuluh. Apabila diairi dengan: دولاب (dulāb, ember) atau disiram maka zakātnya 5%."

Jadi zakāt pertanian, buah-buahan maupun biji-bijian apabila dia tumbuh dengan sendiri tanpa usaha yang berat dari petani (tidak perlu mengairi) karena tempatnya memiliki curah hujan tinggi (misalnya), atau dia sudah teraliri anak sungai (misalnya), tidak ada usaha yang berat maka kewajibannya adalah 10%.

Tetapi jika di sana ada usaha untuk mengairi dari petani maka kewajibannya hanya 5%.

((وإن سقي نصفها بهذا ونصفها بهذا ففيه ثلاسة أرباع العشر))

(Apabila diari dengan air hujan, juga diari oleh petani tersebut (campuran) terkadang dengan air hujan terkadang dengan usaha petani tersebut maka zakātnya adalah tiga perempat persepuluh maksudnya 7.5%.

Ini yang terkait dengan nishāb dari zakat: الزروع والثمار.

Adapun jenis-jenisnya ada khilāf di antara para ulamā, antara Abū Hanīfah yang mengatakan bahwa semua karena ayat ini umum, seluruh tumbuh-tumbuhan sayuran, pertanian, buah-buahan masuk semua jenis apapun.

Adapun pendapat jumhur, pendapat Imām Syāfi'i, maka di sana ada tafsil.

Ada yang mengatakan, ada yang bisa dikeringkan, kemudian merupakan makanan pokok dan bisa disimpan yaitu masuk pada zakāt. Adapun yang lainnya tidak.

('Ala kulli hal) bahwa penjelasan detailnya, in syā Allāh nanti dijelaskan pada waktunya, biidzillāh Ta'āla.

Demikian terkait dengan zakāt: الزروع والثمار.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
ZAKĀT EMAS DAN PERAK


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Para shahābat Bimbingan Islām yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Pada halaqah yang ke-84, kita akan melanjutkan pembahasan kita tentang zakāt emas dan perak (الذهب والفضة).

Di mana zakāt emas dan perak ini adalah zakāt yang wajib dan disebutkan di dalam Al Qur'ān maupun hadīts.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman:

وَالَّذِينَ يَكْنزونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

"Dan orang-orang yang menimbun emas dan peraknya serta tidak menginfāqkannya di jalan Allāh, maka beri kabar gembiralah mereka dengan adzāb yang pedih."

(QS At Tawbah: 34)

Dan juga di dalam hadits, Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحَ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِىَ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِى يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيُرَى سَبِيلُهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

"Tidak ada seorangpun pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan haknya (yaitu) berupa zakāt, melainkan akan dibentangkan kepada dia bentangan dari api neraka, maka diapun akan dipanggang di neraka jahannan, kemudian dipanaskan (di setrika) di dalam neraka Jahannam, lalu dibakarlah dahinya, lambungnya dan punggungnya.

Setiap kali lempengan itu dingin, dikembalikan (dipanaskan di dalam Jahannam) untuk (menyiksa)nya.

Itu dilakukan pada hari kiamat, yang satu hari ukurannya 50 ribu tahun, sehingga diputuskan (hukuman) di antara seluruh hamba.

Kemudian dia akan melihat atau akan diperlihatkan jalannya, kemungkinan menuju surga, dan kemungkinan menuju neraka."

(Hadīts riwayat Muslim II/680 nomor 987, dari Abū Hurairah)

⇒ Ini adalah kewajiban zakāt emas dan perak.

Berapa nishāb dari zakāt emas dan perak ?

Disebutkan oleh penulis rahimahullāh:

((ونصاب الذهب عشرون مثقالا))

"Nishāb emas adalah 20 mitsqāl (20 Dinnar) atau setara dengan 85 gram emas."

⇒ Jadi seseorang yang memiliki 85 gram emas maka dia wajib untuk menunaikan zakātnya

((وفيه ربع العشر وهو نصف مثقال وفيما زاد بحسابه))

"Untuk jumlah ini zakātnya adalah ربع العشر (seperempatnya sepersepuluh) maksudnya adalah 2.5% yaitu sama dengan 1/2 mitsqāl."

Adapun lebih dari itu maka sesuai dengan kadarnya.

⇒ Jadi apabila seseorang memiliki emas sebesar 85 gram, maka dia sudah mencapai nishāb maka wajib dizakāti. Zakātnya adalah 2.5 %.

Apabila lebih dari 85 gram, maka disesuaikan dengan kadarnya X 2.5 % dari emas yang dia miliki.

• Nishāb Al Wariq ( ونصاب الورق)

Al Wariq (الورق) disini adalah Al Fidhah (الفضة) atau perak.

Berkata penulis rahimahullāh:

((ونصاب الورق مائتا درهم وفيه ربع العشر وهو خمسة دراهم وفيما زاد بحسابه))

"Nishāb atau kadar dari perak yang wajib dizakāti adalah 200 dirham, zakatnya 1/4 per sepuluh atau 5 dirham. Apabila lebih dari itu, maka sesuai dengan kadar harta yang dia miliki.”

⇒ 200 dirham setara dengan 595 gram.
⇒ Apabila seorang memiliki perak seberat 595 gram maka wajib dia zakāti.

Berapa zakātnya?

Penulis rahimahullāh mengatakan:  وفيه ربع العشر , zakātnya adalah seperempat persepuluh atau 2.5% yaitu (sama dengan) 5 dirham.

Apabila lebih dari itu maka sesuai dengan kadar harta yang dia miliki dikali 2.5%

Bagaimana cara kita membayarnya?

⇒ Cara kita membayarnya bisa ditaksir.

Apabila kita memiliki emas (cincin atau kalung dan lain sebagainya) yang digunakan untuk jual beli (misalnya) atau emas murni yang kita simpan maka dihitung.

Apabila kita memiliki 100 gram emas dan harga per gramnya 500 ribu, maka taksirannya adalah 50 Juta jadi zakātnya adalah 2.5% dari 50 Juta.

Begitu juga dengan perak, jumlah perak yang kita miliki dikalikan dengan harga perak per gram, lalu dikalikan dengan 2.5% nya.

Berkata penulis rahimahullāh:

(( ولا تجب في الحلي المباح زكاة))

"Dan tidak diwajibkan pada perhiasan yang mubah zakāt."

⇒ Artinya tidak ada zakāt pada perhiasan yang mubah.

Untuk perhiasan yang harām maka ijmā' para ulamā, bahwasanya wajib di sana zakāt (yaitu) kalung emas, cincin emas dan perhiasan emas yang digunakan oleh laki-laki. Ini adalah perkara yang harām maka wajib dia membayar zakāt.

Adapun kalung emas, cincin emas, atau perhiasan emas yang digunakan oleh para wanita atau yang disebut sebagai zakātul hulī (ذكاة الحلي) di sana ada khilāf para ulamā.

⇒ Ada yang mengatakan bahwasanya tetap dizakāti dan ada yang mengatakan tidak dizakāti.

Di sini penulis merajīhkan aqwal atau qaul syāfi'i yang tidak mewajibkan zakāt pada perhiasan wanita karena di sana ada qaul lain dari syāfi'iyyah bahwa diwajibkan juga zakāt.

⇒ 'Ala kulli hal, bahwasanya tidak diwajibkan zakat pada perhiasan-perhiasan yang mubah yang digunakan oleh wanita.

Adapun seorang wanita yang dia membeli perhiasan dengan niat untuk dijual sewaktu-waktu maka dia tetap terkena zakāt karena masuk ke dalam zakāt tijārah, tetapi apabila perhiasan itu hanya untuk digunakan dan tidak ada niat untuk dijual maka dia masuk pada zakāt al hulī.

Demikian, pembahasan tentang zakāt emas dan perak (الذهب والفضة) semoga bermanfaat.


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS

Senin, 01 Januari 2018

Sudahkah Berzakat?


ZAKĀT TERNAK KAMBING


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Para shahābat Bimbingan Islām yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla di manapun anda berada. 

Pada halaqah yang ke-82, kita akan melanjutkan pelajaran tentang zakāt. 

Dan kita sudah masuki pada zakāt الغنم Al Ghanam (zakāt tentang kambing). Apabila seseorang memiliki hewan piaraan kambing (peternakan kambing) maka di sana ada zakāt dan ada aturan zakātnya. 

Berkata penulis rahimahullāh: 

(( وأول نصاب الغنم أربعون وفيها شاة جذعة من الضأن أو ثنية من المعز))

Nishāb yang pertama mulai dikenakan zakāt tatkala mencapai 40 ekor, maka dikeluarkan satu ekor kambing جذعة (jadza'ah) dari jenis الضأن (dha'n) atau dikeluarkan satu ekor kambing jenis al ma'iz (المعز).

⇒ Kambing jadza'ah(جذعة) adalah kambing yang berumur satu tahun dan masuk dua tahun. 

⇒ Kambing ma'iz (المعز) adalah kambing yang berumur dua tahun masuk ketiga tahun. 

Hal ini berdasarkan hadīts Suwaid bin Ghaflah radhiyallāhu ta'āla 'anhu, beliau berkata: 

حديث سويد بن غفلة : سمعت مصدق النبي صلى الله عليه وسلم يقول : { إنما حقنا في الجذع من الضأن ، والثنية من المعز } (أحمد وأبو داود والنسائي)

Kata beliau (Suwaid bin Ghaflah):

"Bahwasanya saya mendengar orang yang ditugaskan untuk mengambil zakāt oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, berkata bahwasanya haq kami (yaitu) hak untuk dikeluarkan zakāt dari الضأن adalah جذعة atau الثنية.”

(Hadīts riwayat Ahmad, Abū Dāwūd, An Nassā'i) 

Berapa jumlah zakāt apabila hewan ternak tersebut jumlahnya bertambah?

Berkata penulis rahimahullāh: 

(( وفي مائة وإحدى وعشرين شاتان))

"Dan apabila mencapai 121 maka zakāt nya adalah 2 (dua) ekor kambing."

(( وفي مائتين وواحدة ثلاث شياة))

"Dan apabila mencapai 201 ekor maka zakātnya adalah 3 (tiga) ekor kambing."

(( وفي أربعمائة أربع شياة))

"Dan bila sudah mencapai 400 ekor maka zakātnya adalah 4 (empat) ekor kambing."

((ثم في كل مائة شاة))

"Kemudian setelah itu setiap kelipatan 100 ekor zakātnya adalah satu ekor kambing."

Jadi ukurannya atau kadarnya: 

⑴  Mulai  40 sampai 120 ⇒ satu ekor kambing. 
⑵ Mulai 121 sampai 200 ⇒ dua ekor kambing. 
⑶ Mulai 201 sampai 399 ⇒ tiga ekor kambing. 
⑷ Mulai 400 ke atas ⇒ Setiap kelipatan 100 adalah satu ekor kambing. 

Hal ini berdasarkan kitāb yang ditulis oleh Abū Bakar radhiyallāhu ta'āla 'anhu tentang zakāt. 

Kata beliau (Abū Bakar radhiyallāhu ta'āla 'anhu): 

وَفِى صَدَقَةِ الْغَنَمِ فِى سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ شَاةٌ، فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ إِلَى مِائَتَيْنِ شَاتَانِ، فَإِذَا زَادَتْ عَلَى مِائَتَيْنِ إِلَى ثَلاَثِمِائَةٍ فَفِيهَا ثَلاَثٌ، فَإِذَا زَادَتْ عَلَى ثَلاَثِمِائَةٍ فَفِى كُلِّ مِائَةٍ شَاةٌ، فَإِذَا كَانَتْ سَائِمَةُ الرَّجُلِ نَاقِصَةً مِنْ أَرْبَعِينَ شَاةً وَاحِدَةً فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ، إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا

“Adapun zakāt kambing maka antara 40 sampai 120 adalah satu ekor kambing, kalau lebih dari 120 (yaitu) 121 sampai 200 ekor maka dua ekor kambing, kalau bertambah dari 200 sampai 300 maka tiga ekor kambing, maka apabila bertambah diatas 300 sampai 400 maka setiap kelipatan 100 adalah satu ekor kambing.

Maka kata beliau bila kambing-kambing tersebut kurang dari 40 ekor (walaupun kurang satu) maka tidak ada zakāt bagi kambing-kambing tersebut kecuali apabila pemiliknya menghendaki untuk tetap mengeluarkan maka itu adalah keutamaan dari dia."

Demikian yang bisa disampaikan pada halaqah yang ke-82 ini, dan in syā Allāh kita lanjutkan pada halaqah berikutnya.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه  وبركاته


🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS 




= = =

ZAKĀTUL KHILTHAH


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Para shahābat Bimbingan Islām yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Pada halaqah yang ke-83, kita masih melanjutkan pelajaran tentang zakāt dan ada pembahasan yang dibahas oleh para ulamā yaitu: زكاة الخلطة (zakātul khilthah) pada zakāt kambing. 

Apa yang dimaksud dengan zakātul khilthah? 

Al khilthah adalah al khalaf yaitu bercampur, bersama-sama. 

Maksudnya adalah apabila ada dua orang memiliki harta zakāt dan dia mengabungkan zakātnya. Jadi dua orang atau lebih menggabungkan zakātnya, maka ini disebut dengan zakāt al khilthah (zakāt yang tercampur harta zakātnya /bersama-sama) maka tatkala bersama-sama zakātnya adalah zakāt harta yang seperti milik satu orang. 

(( والخليطان يزكيان زكاة الواحد بسبع شرائط: إذا كان المراح واحدا والمسرح واحدا والمرعى واحدا والفحل واحدا والمشرب واحدا والحالب واحدا وموضع الحلب واحدا))

Penulis rahimahullāh menyebutkan: 

((والخليطان يزكيان زكاة الواحد))

"Dan dua orang atau lebih yang memiliki harta zakāt dan mencampurkan zakātnya, kemudian mereka menzakātkan harta yang tercampur tersebut seperti zakāt milik satu orang, aturannya seperti aturan satu orang."

Hadīts ini berdasarkan hadīts Annas, beliau mengatakan: 

أنَّ أبا بكر رَضِيَ اللهُ عنه، كتب له الفريضةُ التي فرَضَ رسولُ الله صلَّى الله عليه وسلَّم 

"Bahwasanya Abū Bakar radhiyallāhu ta'āla 'anhu mengirimkan (menuliskan surat)  kepada beliau kewajiban yang mana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam wajibkan."

 ولا يجمع بين متفرق ولا يفرق بين مجتمع خشية الصدقة

"Dan tidak boleh mengabungkan antara harta zakāt yang terpisah dan tidak boleh menggabungkan harta zakāt yang terpisah menjadi satu dalam rangka untuk mengakali shadaqah."

⇒ Zakāt shadaqah di sini adalah zakāt maka yang terpisah dicampurkan atau yang tercampur dipisahkan. 

و ما كان من خليطين فإنهما يتراجعان بينهما بالسوية

"Adapun yang memang harta zakāt itu tercampur, maka kembali zakātnya kepada kedua orang tersebut dan secara sama."

⇒ Jadi dihitung zakāt wahid (zakāt dari satu orang) kemudian dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. 

 بسبع شرائط

Dengan 7 (tujuh)  syarat:

Disana ada beberapa syarat tambahan yang lain dari syarat-syarat yang ada, (على كل حال) bahwasanya didalam syarat ini juga ada sebagian khilāf para ulamā. 

Di antara syarat  yang disebutkan oleh penulis rahimahullāh: 

 إذا كان المراح واحدا 

⑴ Apabila tempat tinggalnya (kandangnya) satu.

 والمسرح واحدا

⑵ Tempat munculnya atau tempat melepasnya satu.

 والمرعى واحدا 

⑶ Tempat menggembalanya satu.

والفحل واحدا

⑷ Pejantannya satu. 

 والمشرب واحدا 

⑸ Tempat minumnya satu (bersama)

والحالب واحدا 
⑹ Pemerah susunya satu.

وموضع الحلب واحدا

⑺ Tempat pemerahnya satu.

Jadi disyaratkan pada khilthah ini, bahwasanya memang benar-benar bercampur mulai dari kandangnya dan lain sebagainya. 

Kalau tidak memenuhi syarat maka tidak disebut sebagai harta tercampur atau zakāt al khulthah. 

Disana disebutkan bahwa syarat,: الحالب واحدا atau orang yang memerah susunya satu orang, ini adalah dhaif dalam madzhab yang shahīh tidak disyaratkan sama-sama mengambil susunya. Yang disyaratkan sama-sama adalah pengembalanya yang satu. 

Maka ini masuk ke dalam zakātul khulthah. 

Demikian yang bisa disampaikan pada halaqah yang ke-83 ini, dan in syā Allāh kita lanjutkan pada halaqah berikutnya. 

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS 

TAFSIR SURAT AL FALAQ  BAGIAN 1 (ayat ke-1)



السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 

الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه 


Ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.


Kita lanjutkan pengajian dari tafsir Juz 'Amma, kita In syā Allāh akan mulai menafsirkan atau menyebutkan tafsiran para ulamā tentang surat Al Falaq, yaitu firman Allāh "Qul A'udzu bi Rabbil Falaq".


Surat "Qul A'udzu bi Rabbil Falaq" dan surat "Qul A'udzu bi Rabbinnās" disebutkan bahwasanya sebab turun surat ini (Qul A'udzu bi Rabbil Falaq) adalah tentang kisah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang disihir oleh seorang Yahudi yang bernama Lubaid bin Al A'sham 


Lubaid bin Al A'sham menyihir Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan ini merupakan hadīts yang shahīh.


Disebutkan bahwasanya ada seorang Yahudi yang membantu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Ketika dia menyisir rambut Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, dia mengambil beberapa helai rambut Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam lalu diberikan kepada  Lubaid bin Al A'sham Al Yahudi.


Setelah diambil rambut tersebut maka Lubaid bin Al A'sham  membuat sihir (membuat buhul-buhul).


Kemudian buhul tersebut diletakan di dalam sebuah sumur di bawah batu di sumur tersebut (artinya) sulit untuk dicari.


Akhirnya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam setelah itu tersihir beberapa lama, sampai seakan-akan dia melakukan sesuatu yang ternyata dia tidak lakukan.


Bahkan dibayangkan beliau mendatangi istri-istri beliau padahal beliau tidak mendatangi istri-istri beliau.


Kemudian datanglah dua malāikat kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala Nabi sedang tertidur. 


Satu malāikat di kepala Nabi dan malāikat yang lain di kaki Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Kemudian mereka berbincang-bincang ada apa dengan orang ini. Malāikat yang satu mengatakan dia (Rasūlullāh) sedang disihir, siapa yang menyihirnya? Lubaid bin Al A'sham.


Maka kemudian dibacakan surat "Qul A'udzu bi Rabbil Falaq" yang merupakan ruqyah yang akhirnya melepaskan sihir Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.


Dalam riwayat disebutkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menyuruh sebagian shahābat untuk mencari buhul-buhul tersebut. Maka mereka pun (para shahābat) pergi sebagaimana diberitahukan oleh malāikat tadi bahwasanya Lubaid bin Al A'sham menyihir Nabi dengan rambut Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang diletakkan di sumur.


Akhirnya berangkatlah sebagian shahābat mengambil buhul-buhul tadi. Kemudian dibuka oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sambil membaca surat ini (Qul A'udzu bi Rabbil Falaq).


Sebagian orang mengingkari hadīts ini, dengan mengatakan:


"Tidak mungkin Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam disihir."


Kita bilang, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak pernah disihir kecuali sekali ini, tentunya Allāh memberikan hikmah tatkala menjadikan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tersihir.


Diantara hikmahnya adalah diturunkannya surat ini, surat pelindung, berlindung kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 


Dan mereka menyatakan:


"Tidak mungkin hadīts ini shahīh. Kalau Nabi tersihir bagaimana? Nanti Nabi bisa keliru dalam menyampaikan wahyu."


Kita katakan bahwasanya sihir yang ditimpa (dialami) oleh Nabi, bukanlah sihir yang berkaitan dengan perihal pemberian (penyampaian) wahyu.


Nabi menyampaikan wahyu sebagaimana biasanya, akan tetapi sihir yang seakan-akan Nabi sedang sakit sehingga disebutkan dalam hadīts, seakan-akan Nabi mendatangi istrinya padahal beliau tidak mendatangi istrinya. Tidak lebih daripada itu, dan sebelumnya sudah ada Nabi yang pernah disihir.


Nabi yang pernah tersihir adalah Nabi Musa 'alayhissalām, Allāh mengatakan:


يُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى() فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَىٰ


"Mereka mendatangkan sihir yang sangat hebat, sampai akhirnya membuat Nabi Musa takut." 


(QS Thaha : 66-67)


Allāh menceritakan tatkala terjadi duel antara Nabi Musa dengan para penyihirnya Fir'aun yang jumlahnya banyak. 


Kemudian mereka melemparkan tongkat-tongkat mereka (tali-tali mereka) maka berubahlah menjadi ular yang banyak. 


Kenapa Nabi Musa takut? 


Kata Allāh, "Dihayalkan kepada Nabi Musa, Nabi Musa tersihir sehingga dia melihat seakan-akan ular-ular tersebut bergerak."


Padahal tidak ada ular di situ, hanya tongkat-tongkat dan tali-tali saja akan tetapi mata Nabi Musa melihat ular-ular tersebut bergerak. Sampai Nabi Musa pun ketakutan (berarti dia terpengaruh dengan sihir).


Artinya, mungkin saja ada Nabi yang tersihir, ada hikmah yang Allāh inginkan, namun bukan berarti setiap Nabi pasti tersihir, TIDAK.


Dan Nabi tidak disihir kecuali sekali itu, karena ada hikmah yang Allāh kehendaki. Dan sihir tersebut tidak mempengaruhi periwayatan ayat-ayat Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Nabi tidak mungkin keliru tatkala menyampaikan Al Qurān.


Dari situ kita menyatakan bahwasanya hadīts yang menjelaskan bahwasanya Nabi terkena sihir hadītsnya shahīh tidak usah kita ingkari.


Adapun penolakan sebagian orang dengan alasan-alasan yang tidak benar maka tidak perlu kita dengarkan.


Hadītsnya shahīh, Nabi terkena sihir akan tetapi sihir tersebut tidak berkaitan dengan penyampaian wahyu. 


Dan ada hikmahnya yaitu turun surat "Qul A'udzu bi Rabbil Falaq".


قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ


"Katakanlah "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh."


⇛ Arti al falaq ada beberapa pendapat dikalangan para ulamā ahli tafsir.


√ Pendapat yang pertama dan terkuat adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Katsīr rahimahullāh dalam tafsirnya. 


⇛ Al Falaq artinya subuh , sebagaimana firman Allāh: 


فالِقُ الْإِصْباحِ


"Allāh Subhānahu wa Ta'āla yang membuka subuh."


(QS Al An'am: 96)


⇛ Jadi Al Falaq artinya subuh, "Demi Tuhan yang menguasai waktu subuh."


√ Pendapat yang lain mengatakan al falaq artinya makhluk.


√ Pendapat lain mengatakan al falaq  adalah nama dari nama-nama neraka Jahannam.


√ Pendapat lain mengatakan al falaq artinya lembah yang ada di neraka Jahannam.


√ Pendapat lain al falaq artinya sumur yang ada di neraka Jahannam. 


√ Pendapat lain al falaq artinya rumah yang ada di neraka Jahannam.


⇛ Apabila rumah tersebut terbuka maka akan mengeluarkan panas yang sangat panas sehingga menjadikan ahlunnār (penduduk neraka Jahannam) berteriak karena kesakitan. 


Akan tetapi, Wallāhu A'lam bishawab, sebagaimana tafsiran Al Qurān dengan Al Qurān adalah yang lebih kuat, maka al falaq artinya adalah subuh.


قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ


"Katakanlah aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh."




Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 11

🌍 BimbinganIslam.com Jum’at, 04 Sya’ban 1439 H / 20 April 2018  👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc 📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uy...